Israel vs Freedom Flotilla
Rabu, 2 Juni 2010 - 10:27 wib
Kawasan Timur Tengah, khususnya di Jalur Gaza, kembali menjadi fokus berita ketika pasukan komando Israel menyerang iring-iringan armada kecil (flotilla)–dengan sebutan Freedom Flotilla–yang mengangkut ratusan aktivis pro-Palestina untuk misi bantuan ke wilayah yang diblokade Israel sejak tiga tahun lalu.
Jalur Gaza adalah wilayah di Timur Tengah yang memiliki sentralitas politik yang sangat tinggi dalam konflik di kawasan tersebut (Sarah Roy, 2006). Insiden itu menewaskan lebih dari sepuluh orang dan melukai puluhan lainnya dari penumpang kapal tersebut. Operasi di perairan internasional lepas pantai Gaza itu adalah sebuah mimpi buruk bagi Israel yang karena aksinya itu justru akan lebih merusak posisi internasionalnya. Bukan hanya itu. Hubungan Israel-Turki yang sudah tegang sejak satu-dua tahun terakhir ini juga menjadi semakin buruk. Salah satu armada yang diserang oleh pasukan komando Israel kebetulan adalah berbendera Turki. Iring-iringan armada itu antara lain juga diorganisir oleh organisasi hak asasi manusia Turki yang sebelumnya telah mendesak Israel untuk memberikan jalur aman bagi armada yang membawa sekira 10.000 ton bantuan kemanusiaan.
Turki, yang sebelumnya adalah “teman” muslim terdekat Israel dalam lingkungan Timur Tengah yang saling bermusuhan, memberikan reaksi yang sangat keras terhadap serangan Israel di Gaza 18 bulan lalu yang menewaskan sekira 1.400 orang Palestina. Pertumpahan darah di laut itu tidak akan membantu upaya kedua negara memperbaiki hubungan antarmereka. Kecaman terhadap aksi Israel datang dari berbagai penjuru dunia. Uni Eropa, misalnya, menyerukan penyelidikan mengenai serangan Israel tersebut. Negara-negara Eropa secara individual juga mengeluarkan pernyataan mengenai aksi Israel itu. Negara-negara di Timur lainnya, seperti Suriah, mendesak Liga
Sulit memastikan apa penyebab awal terjadinya serangan tersebut. Tapi, aksi Israel itu di satu pihak sudah cukup merongrong posisinya dalam proses perdamaian di Timur Tengah dan di lain pihak semakin memperkuat sentimen anti-Israel. Yang jelas proses perdamaian di Timur Tengah bukan hanya tererosi tetapi juga terancam terhenti. Freedom Flotilla sepertinya dari awal memang diarahkan menuju Jalur Gaza yang telah diblokade oleh Israel. Sulit dipahami mengapa Freedom Flotilla memaksa untuk masuk ke wilayah yang diblokade sementara pelanggaran terhadap blokade memberikan kepada Israel hak untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menegakkan blokade itu.
Sempat dilaporkan bahwa armada itu awalnya mengubah haluan dan menjauhi Gaza. Perubahan haluan ini sepertinya telah direncanakan untuk menghindari konfrontasi malam hari dan mereka lebih “memilih konfrontasi” di siang hari untuk tujuan publisitas yang lebih luas. Aksi Freedom Flotilla yang memaksa masuk wilayah yang diblokade, meskipun membawa bantuan kemanusiaan, sebelumnya memang sudah dipastikan akan memancing reaksi keras dari Israel dan ini terbukti. Kalau saja mereka peduli dengan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, maka tentu saja akan ada solusi yang ditawarkan mereka mengenai bagaimana menyalurkan bantuan tersebut ke wilayah Gaza.
Israel pernah menawarkan kapal-kapal yang disebut sebagai Freedom Flotilla tersebut untuk merapat di pelabuhan Israel dan dari situ memindahkan muatannya untuk dibawa ke Gaza setelah melalui pemeriksaan keamanan. Tetapi, tawaran itu ditolak oleh Freedom Flotilla. Blokade Gaza adalah prakarsa Israel dan Mesir. Jalur Gaza diblokade sejak Hamas menguasai wilayah itu tahun 2007. Keikutsertaan Mesir sebenarnya lebih karena kekhawatiran terhadap kemungkinan aksi teror Hamas di wilayah perbatasannya. Apa yang terjadi dua hari lalu itu bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah misi bukan untuk tujuan menyalurkan bantuan ke Gaza tetapi sebuah “pertunjukkan” untuk mempermalukan Israel di mata dunia, yaitu membiarkan kapal-kapal itu melanggar blokade maritim Israel dan mencegat armada itu.
Israel terpancing dengan kampanye semacam ini dengan mengerahkan pasukan komandonya, sebuah aksi yang kelihatannya memberi kesan penolakan keras Israel atas bantuan untuk rakyat di Gaza. “Kampanye” Freedom Flotilla seolah-olah bertujuan untuk menegaskan kepada dunia bahwa blokade maritim oleh Israel dan Mesir adalah sebuah tindakan untuk menutup ruang bagi rakyat Gaza menerima bantuan. Tetapi, sasaran sesungguhnya adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Jerusalem dan Kairo ingin mencegah Hamas memasok perlengkapan yang diperlukan untuk membangun infrastruktur untuk mendukung aksi teror mereka.***
Belum bisa dipastikan sampai di mana efek lanjutan dari serangan Israel terhadap Freedom Flotilla. Yang jelas adalah bahwa konfrontasi yang seharusnya tidak perlu terjadi akan semakin membuat sulit penyelesaian konflik Israel-Palestina, sebuah kasus yang menjadi prioritas Presiden Obama untuk diselesaikan. Karena serangan Israel itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sampai menunda kunjungannya ke Washington padahal saat itu dia sudah ada di Kanada. Tapi, mereka yang sinis akan menafsirkan langkah Obama ini sebagai upayanya untuk menenangkan para pemilih Yahudi yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah Obama selama ini yang dianggap terlalu keras terhadap langkah-langkah Israel di Timur Tengah.
Obama bisa saja melakukan sesuatu untuk menghilangkan citra semacam itu dengan menggunakan “charm offensive”-nya dan menyerukan para aktivis Flotilla untuk menerima kompromi Israel. Baru setelah itu akan diketahui secara jelas apakah tujuan Freedom Flotilla itu adalah memang untuk membantu rakyat di Gaza atau memang dirancang untuk mengutuk dan menyudutkan Israel.(*)
Bantarto Bandoro
Peneliti IISS, Jakarta dan Dosen President University
(//mbs)